TRADISI NYONGKOLAN DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh : H. Muh. Lutfi Tharodli, S.Sos.I. M.Pd.I.
(Direktur
LPPSDM BKPRMI Kota Mataram dan Guru Bahasa Arab di MTs N 1 Mataram)
Mengutip pendapat dari H. Lalu
Lukman di dalam bukunya Tata Budaya Adat Sasak di Lombok mengenai adat istiadat,
beliau mengatakan “ Timbulnya adat dalam kebudayaan, adalah dari kebiasaan
sehari-hari, menjadi tradisi atau teradat serta didukung oleh falsafah yang
sangat menguntungkan bagi para penganutnya dalam perkembangannya. Ia mengalami
sentuhan dari lingkungan sekitarnya, ditambah lagi dengan masuknya aliran
keyakinan, yaitu agama yang mula-mula hanya merupakan pengaruh, tapi kemudian
menjadi penunjang yang kuat dan menjadi sendi dari adat, yang tidak dapat
dipisahkan. Proses yang demikian inilah yang dialami oleh masyarakat Sasak di
dalam perkembangannya.”
Berpijak dari pendapat beliau di
atas, ini mengindikasikan bahwa adat dalam kebudayaan Sasak tidak terlepas dari
pengaruh Agama, khususnya agama Islam yang dianut oleh mayoritas suku Sasak.
Nilai ajaran Islam dari sejak dulu telah dijadikan pijakan oleh masyarakat suku
Sasak di dalam menjalankan tradisi budaya mereka. Pelaksanaan adat dalam
tradisi budaya Sasak tidak boleh dipisahkan dari pengaruh agama, atau dengan
kata lain adat harus bersendikan agama, adat harus tunjang-menunjang dengan
agama yang memunculkan falsafah yang sangat dalam yakni “adat gama” dan
”adat krama”. Antara adat gama dan adat krama tidak boleh saling
bertolak belakang, harus seiring sejalan, selangkah seayun, seia sekata agar
terwujud budaya Sasak yang harmonis dan seimbang menuju masyarakat Sasak yang
religius, maju, dan berbudaya.
Demikian halnya dengan tradisi
nyongkolan, pada hakikatnya tradisi nyongkolan dihajatkan untuk menjalankan ruh
agama itu sendiri karena dalam kegiatan nyongkolan ada unsur syiar untuk
memperkenalkan kedua mempelai kepada kaum kerabat dan para tamu yang hadir, dan
dalam kesempatan ini juga kedua mempelai dibawa menemui kedua orang tuanya,
sebagai simbol memohon maaf atas perbuatannya yang telah meninggalkan rumahnya untuk
kawin. Tetapi perlu diingat dalam pelaksanaan nyongkolan tersebut dilakukan
dengan tertib dan teratur dengan tidak melanggar norma adat dan agama. Inilah
hakikat nyongkolan yang dihajatkan oleh tokoh adat, tokoh agama, pemerintah,
dan masyarakat Sasak yang cinta akan budayanya.
Tradisi nyongkolan jika dikaitkan
dengan pendidikan karakter maka akan menumbuhkan karakter positif antara lain ; Pertama, munculnya karakter untuk ikhlas meminta maaf dan memaafkan. Kita tahu
bahwa sebelum terjadinya perkawinan kedua mempelai pergi diam-diam dari rumah
orang tuanya, yang terkadang membuat kedua orang tua kalang kabut dan
kebingungan mencari ke mana anak kesayangannya. Tetapi hal tersebut bisa terobati
dengan tradisi nyongkolan di mana sang anak meminta maaf dan bersimpuh secara
langsung kepada kedua orang tuanya untuk menunjukkan hormat dan baktinya kepada
kedua orang tuanya. Kedua, mempererat tali shilaturrahim. Di mana antara
keluarga mempelai laki-laki dan mempelai perempuan bisa saling kenal satu
dengan yang lain sehingga dapat memupuk tali kekeluargaan yang semakin erat
antara satu dengan yang lain. Asalnya dari tidak kenal menjadi kenal jika telah
saling kenal maka akan tumbuh rasa saling sayang dan saling peduli antara satu
dengan yang lain karena merasa telah terikat menjadi satu keluarga besar. Ketiga,
kebersamaan, dengan adanya tradisi nyongkolan tersebut akan menumbuhkan
perasaan untuk membantu menyelesaikan prosesi adat nyongkolan sang punya gawe
(mempelai laki-laki maupun perempuan) dengan ikut mengiringi kedua mempelai ke
rumah mempelai wanita. Bagi keluarga yang lebih mampu juga membawa
bermacam-macam asongan (usungan), yang akan diserahkan kepada pihak perempuan
untuk dibagi-bagikan kepada sekalian sanak keluarga dan tamu-tamu yang hadir. Keempat,
Kepedulian kepada orang lain, dalam acara nyongkolan dilakukan
pelaksanaannya dengan cara tertib, teratur, dan rapi agar tidak mengganggu
orang lain, lebih-lebih jika nyongkolannya dengan berjalan kaki secara
beriringan. Harus menggunakan separuh jalan agar tidak mengganggu pengguna
jalan lain, lebih-lebih jika pengguna jalan lain mempunyai kebutuhan yang
sangat mendesak atau dalam kondisi gawat darurat. Dengan menerapkan karakter peduli
kepada kepada orang lain pada saat prosesi nyongkolan dilaksanakan maka tidak
akan terjadi polemik atau pertikaian pada saat prosesi nyongkolan berlangsung.
Pendidikan karakter kepedulian kepada orang lain bisa tumbuh dengan adanya
kesadaran dari masyarakat pada saat proses nyongkolan diadakan.
Pendidikan karakter
bisa ditemukan dalam prosesi nyongkolan dan dijadikan falsafah budaya Sasak
jika ajaran positif yang tersirat dari
kultur nyongkolan tersebut diresapi,
dihayati, dan direalisasikan oleh masyarakat Sasak, bukan hanya sekedar sebagai ritual seremonial dan
penyelesaian adat semata. Jika prosesi nyongkolan hanya dijadikan sebagai
ritual penyelesaian adat belaka, apalagi dengan tidak memperhatikan norma adat
dan agama maka ruh pendidikan karakter yang dihajatkan oleh prosesi nyongkolan
tersebut hanya akan menyisakan tabi’at yang negatif, seperti hura-hura,
mabuk-mabukan, mengganggu ketertiban umum, dan tidak peduli kepada kepentingan
pengguna jalan lain.
Akhir-akhir ini hajat
positif dari tradisi nyongkolan yang dibangun oleh para pendiri budaya Sasak
mulai terkikis dan merembes ke arah yang negatif. Hal tersebut terjadi karena
ulah segelintir masyarakat Sasak yang tidak peduli dengan kelestarian
budayanya. Padahal kita tahu bahwa masyarakat Sasak telah terlanjur diberi
lebel masyarakat yang agamis ditambah lagi dengan julukan pulaunya yang
terkenal dengan julukan pulau seribu masjid. Jika tradisi yang mengakar dari
norma agama dan norma adat dikesampingkan atau tradisi yang dikembangkan telah
bertolak belakang dengan karakter masyarakat Sasak yang agamis maka secara
tidak langsung telah memberangus tradisi positif dan merusak citra budaya Sasak itu sendiri.
Khususnya di kota
Mataram, seakan prosesi nyongkolan seperti tiada bertuan. Pengiring pengantin
dengan leluasa menenggak minuman keras tanpa ada orang yang melarangnya, seakan
mengiring pengantin tiada afdhol jika tidak disertai miras. Iring-iringan
pengantin tiada tertib, memakai seluruh jalan, bahkan sampai tidak mengenal
waktu telah menjelang maghrib. Cara berpakaian adat yang benarpun tidak
digubris sehingga menjadi sebuah pertanyaan apakah mereka mengenal pakaian adat
Sasak yang sebenarnya? Dikatakan pakaian adat Sasak nggak? Adat bali juga
nggak? Yah jawabannya akan menjadi pakaian adat baina wa baina (pakaian adat ke
mana - ke mana). Penulis tidak mengatakan semua, sebagian saja, tapi dari yang
sebagian jika dibiarkan dan dijadikan tradisi, serta dianggap sesuatu yang
biasa maka akhirnya akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan merusak citra
budaya Sasak itu sendiri. Bukankah nira setitik akan merusak susu sebelanga?
Maka hemat penulis,
perlu perhatian yang serius dari semua pihak mengenai tradisi nyongkolan yang
telah dirusak citranya oleh sebagian oknum masyarakat untuk meletakkan kembali
porsi adat nyongkolan pada tempat yang sebenarnya. Jika tidak demikian, maka
akan sulit diharapkan pendidikan karakter dari prosesi nyongkolan bisa
dibangun. Pengguna nyongkolan bukan
hanya para ibu atau para bapak saja, tetapi sebagian besar adalah para remaja
dan pemuda yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa, maka dikhawatirkan
pendidikan karakter positif yang mereka dapatkan di sekolah dan di fakultas
akan berbenturan dengan kenyataan yang terjadi pada saat prosesi nyongkolan
yang berbau jahily dilakukan oleh
sebagian oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
Solusinya, rekontruksi
tradisi nyongkolan harus segera diupayakan dan sanksi moral harus dijatuhkan
terhadap para oknum yang melakukan kemaksiatan pada saat prosesi nyongkolan
berlangsung. Jika hal tersebut tidak segera dilakukan maka akan menjadi dosa
berjamaah yang akan dipikul, bukan hanya oleh pelaku kemaksiatan itu sendiri
tetapi juga para tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh komponen masyarakat yang
membiarkan pengerusakan nilai-nilai
budaya Sasak yang sakral. Wallahua’lam bisshawab.