Sabtu, 13 Desember 2014

kegiatanku



TRADISI NYONGKOLAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh : H. Muh. Lutfi Tharodli, S.Sos.I. M.Pd.I.
(Direktur LPPSDM BKPRMI Kota Mataram dan Guru Bahasa Arab di MTs N 1 Mataram)

            Mengutip pendapat dari H. Lalu Lukman di dalam bukunya Tata Budaya Adat Sasak di Lombok mengenai adat istiadat, beliau mengatakan “ Timbulnya adat dalam kebudayaan, adalah dari kebiasaan sehari-hari, menjadi tradisi atau teradat serta didukung oleh falsafah yang sangat menguntungkan bagi para penganutnya dalam perkembangannya. Ia mengalami sentuhan dari lingkungan sekitarnya, ditambah lagi dengan masuknya aliran keyakinan, yaitu agama yang mula-mula hanya merupakan pengaruh, tapi kemudian menjadi penunjang yang kuat dan menjadi sendi dari adat, yang tidak dapat dipisahkan. Proses yang demikian inilah yang dialami oleh masyarakat Sasak di dalam perkembangannya.”
            Berpijak dari pendapat beliau di atas, ini mengindikasikan bahwa adat dalam kebudayaan Sasak tidak terlepas dari pengaruh Agama, khususnya agama Islam yang dianut oleh mayoritas suku Sasak. Nilai ajaran Islam dari sejak dulu telah dijadikan pijakan oleh masyarakat suku Sasak di dalam menjalankan tradisi budaya mereka. Pelaksanaan adat dalam tradisi budaya Sasak tidak boleh dipisahkan dari pengaruh agama, atau dengan kata lain adat harus bersendikan agama, adat harus tunjang-menunjang dengan agama yang memunculkan falsafah yang sangat dalam yakni “adat gama” dan ”adat krama”. Antara adat gama dan adat krama tidak boleh saling bertolak belakang, harus seiring sejalan, selangkah seayun, seia sekata agar terwujud budaya Sasak yang harmonis dan seimbang menuju masyarakat Sasak yang religius, maju, dan berbudaya.
            Demikian halnya dengan tradisi nyongkolan, pada hakikatnya tradisi nyongkolan dihajatkan untuk menjalankan ruh agama itu sendiri karena dalam kegiatan nyongkolan ada unsur syiar untuk memperkenalkan kedua mempelai kepada kaum kerabat dan para tamu yang hadir, dan dalam kesempatan ini juga kedua mempelai dibawa menemui kedua orang tuanya, sebagai simbol memohon maaf atas perbuatannya yang telah meninggalkan rumahnya untuk kawin. Tetapi perlu diingat dalam pelaksanaan nyongkolan tersebut dilakukan dengan tertib dan teratur dengan tidak melanggar norma adat dan agama. Inilah hakikat nyongkolan yang dihajatkan oleh tokoh adat, tokoh agama, pemerintah, dan masyarakat Sasak yang cinta akan budayanya.
            Tradisi nyongkolan jika dikaitkan dengan pendidikan karakter maka akan menumbuhkan karakter positif antara lain ; Pertama, munculnya karakter untuk ikhlas meminta maaf dan memaafkan. Kita tahu bahwa sebelum terjadinya perkawinan kedua mempelai pergi diam-diam dari rumah orang tuanya, yang terkadang membuat kedua orang tua kalang kabut dan kebingungan mencari ke mana anak kesayangannya. Tetapi hal tersebut bisa terobati dengan tradisi nyongkolan di mana sang anak meminta maaf dan bersimpuh secara langsung kepada kedua orang tuanya untuk menunjukkan hormat dan baktinya kepada kedua orang tuanya. Kedua, mempererat tali shilaturrahim. Di mana antara keluarga mempelai laki-laki dan mempelai perempuan bisa saling kenal satu dengan yang lain sehingga dapat memupuk tali kekeluargaan yang semakin erat antara satu dengan yang lain. Asalnya dari tidak kenal menjadi kenal jika telah saling kenal maka akan tumbuh rasa saling sayang dan saling peduli antara satu dengan yang lain karena merasa telah terikat menjadi satu keluarga besar. Ketiga, kebersamaan, dengan adanya tradisi nyongkolan tersebut akan menumbuhkan perasaan untuk membantu menyelesaikan prosesi adat nyongkolan sang punya gawe (mempelai laki-laki maupun perempuan) dengan ikut mengiringi kedua mempelai ke rumah mempelai wanita. Bagi keluarga yang lebih mampu juga membawa bermacam-macam asongan (usungan), yang akan diserahkan kepada pihak perempuan untuk dibagi-bagikan kepada sekalian sanak keluarga dan tamu-tamu yang hadir. Keempat, Kepedulian kepada orang lain, dalam acara nyongkolan dilakukan pelaksanaannya dengan cara tertib, teratur, dan rapi agar tidak mengganggu orang lain, lebih-lebih jika nyongkolannya dengan berjalan kaki secara beriringan. Harus menggunakan separuh jalan agar tidak mengganggu pengguna jalan lain, lebih-lebih jika pengguna jalan lain mempunyai kebutuhan yang sangat mendesak atau dalam kondisi gawat darurat. Dengan menerapkan karakter peduli kepada kepada orang lain pada saat prosesi nyongkolan dilaksanakan maka tidak akan terjadi polemik atau pertikaian pada saat prosesi nyongkolan berlangsung. Pendidikan karakter kepedulian kepada orang lain bisa tumbuh dengan adanya kesadaran dari masyarakat pada saat proses nyongkolan diadakan. 
            Pendidikan karakter bisa ditemukan dalam prosesi nyongkolan dan dijadikan falsafah budaya Sasak jika ajaran  positif yang tersirat dari kultur nyongkolan tersebut  diresapi, dihayati, dan direalisasikan oleh masyarakat Sasak, bukan hanya  sekedar sebagai ritual seremonial dan penyelesaian adat semata. Jika prosesi nyongkolan hanya dijadikan sebagai ritual penyelesaian adat belaka, apalagi dengan tidak memperhatikan norma adat dan agama maka ruh pendidikan karakter yang dihajatkan oleh prosesi nyongkolan tersebut hanya akan menyisakan tabi’at yang negatif, seperti hura-hura, mabuk-mabukan, mengganggu ketertiban umum, dan tidak peduli kepada kepentingan pengguna jalan lain.
            Akhir-akhir ini hajat positif dari tradisi nyongkolan yang dibangun oleh para pendiri budaya Sasak mulai terkikis dan merembes ke arah yang negatif. Hal tersebut terjadi karena ulah segelintir masyarakat Sasak yang tidak peduli dengan kelestarian budayanya. Padahal kita tahu bahwa masyarakat Sasak telah terlanjur diberi lebel masyarakat yang agamis ditambah lagi dengan julukan pulaunya yang terkenal dengan julukan pulau seribu masjid. Jika tradisi yang mengakar dari norma agama dan norma adat dikesampingkan atau tradisi yang dikembangkan telah bertolak belakang dengan karakter masyarakat Sasak yang agamis maka secara tidak langsung telah memberangus tradisi positif  dan merusak citra budaya Sasak itu sendiri.
            Khususnya di kota Mataram, seakan prosesi nyongkolan seperti tiada bertuan. Pengiring pengantin dengan leluasa menenggak minuman keras tanpa ada orang yang melarangnya, seakan mengiring pengantin tiada afdhol jika tidak disertai miras. Iring-iringan pengantin tiada tertib, memakai seluruh jalan, bahkan sampai tidak mengenal waktu telah menjelang maghrib. Cara berpakaian adat yang benarpun tidak digubris sehingga menjadi sebuah pertanyaan apakah mereka mengenal pakaian adat Sasak yang sebenarnya? Dikatakan pakaian adat Sasak nggak? Adat bali juga nggak? Yah jawabannya akan menjadi pakaian adat baina wa baina (pakaian adat ke mana - ke mana). Penulis tidak mengatakan semua, sebagian saja, tapi dari yang sebagian jika dibiarkan dan dijadikan tradisi, serta dianggap sesuatu yang biasa maka akhirnya akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan merusak citra budaya Sasak itu sendiri. Bukankah nira setitik akan merusak susu sebelanga?
            Maka hemat penulis, perlu perhatian yang serius dari semua pihak mengenai tradisi nyongkolan yang telah dirusak citranya oleh sebagian oknum masyarakat untuk meletakkan kembali porsi adat nyongkolan pada tempat yang sebenarnya. Jika tidak demikian, maka akan sulit diharapkan pendidikan karakter dari prosesi nyongkolan bisa dibangun. Pengguna  nyongkolan bukan hanya para ibu atau para bapak saja, tetapi sebagian besar adalah para remaja dan pemuda yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa, maka dikhawatirkan pendidikan karakter positif yang mereka dapatkan di sekolah dan di fakultas akan berbenturan dengan kenyataan yang terjadi pada saat prosesi nyongkolan yang berbau jahily  dilakukan oleh sebagian oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
            Solusinya, rekontruksi tradisi nyongkolan harus segera diupayakan dan sanksi moral harus dijatuhkan terhadap para oknum yang melakukan kemaksiatan pada saat prosesi nyongkolan berlangsung. Jika hal tersebut tidak segera dilakukan maka akan menjadi dosa berjamaah yang akan dipikul, bukan hanya oleh pelaku kemaksiatan itu sendiri tetapi juga para tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh komponen masyarakat yang membiarkan  pengerusakan nilai-nilai budaya Sasak yang sakral. Wallahua’lam bisshawab.